Ambo Asse Ajis*
Tidak ada satupun manusia yang menginginkan bencana. Pernyataan ini relevan dengan kodrat manusia yang ingin terbebas dari bencana. Apakah bencana yang dihadapi individu, komunitas ataupun masyarakat. Mengapa, karena bencana itu selalu beririsan dengan air mata kesedihan, kepedihan, kehilangan, kehancuran dan kerusakan yang berjangka panjang.
Sayangnya, ada bencana yang menimpa manusia datangnya berkali kali seolah senang menghampiri. Seorang sahabat mengatakan sepertinya bencana di tempat tertentu itu seolah langganan. Benarkah demikian, mari kita diskusikan.
Bencana yang datang berkali-kali (banjir) bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Di Aceh, ada tempat seolah menjadi “langganan” banjir. Sebut saja kasus di Aceh Utara, Langsa, Aceh Tamiang, Kota Banda Aceh dan beberapa tempat lagi lainnya yang setiap musim hujan tiba akan ramai pemberitaan tentang banjir di tempat-tempat tersebut.
Semua orang di sana tahu dampak banjir dan kapan bencana banjir akan datang. Lalu, diantara mereka ada penduduk banjir yang cerdas beradaptasi mampu menghitung skala kerusakan. Dan, karenanya tidak sedikit di antara mereka mempersiapkan strategi mitigasi.
Misalnya, ada yang membeli perahu dan di parkir di samping rumah; ada yang meninggikan pondasi atau menambah level lantai dasar; ada yang menambah lantai rumah; ada yang meninggikan jalan depan rumah; ada yang menimbun halaman rumah; ada yang mengganti perabot yang lebih ringan; dan banyak lagi metode lainnya.
Namun sayang, banjir yang tak berakal itu ternyata kian hari kian cerdas dengan meninggikan debitnya. Dari ketinggian mata kaki menjadi setinggi lutut. Lalu, setinggi lutut sudah sampai di pinggang. Dan, dari setinggi pinggang kini mampu menjangkau atap rumah. sampai disini kita seharunsya memahami walau banjir itu tak berakal tetapi ternyata mampu beradaptasi dengan strategi manusia.
Komunikasi Bencana
Soal banjir dan prilakuknya ini, saya, menyarankan agar para pemangku pemerintahan, apakah gubernur Aceh, Bupati dan Walikota se Aceh bahkan selevel Kepala Desa, selayaknyalah mengetahui prilaku banjir di masing-masing tempatnya. Di konteks ini, pendekatan komunikasi bencana harus digunakan oleh para pihak dalam menyikapi maraknya banjir.
Ilmu Kebencanaan memiliki satu strategi penyampaian potensi bencana yang disebut komunikasi resiko bencana. Komunikasi resiko bencana, yaitu suatu proses secara terbuka untuk pertukaran informasi dan pendapat yang jelas antara manajer risiko dan pemangku kepentingan melalui proses analisis risiko.
Komunikasi resiko bencana diperlukan sebagai sarana menjelaskan kondisi eksisting kita siapa saja (pemerintah, swasta, masyarakat, komunitas hingga individu) terhadap potensi terjadinya bencana. Analisa resiko bencana akan mempermudah para stakeholder memahami karakternya sehingga memotivtasi menjadikan sebagai basis data dan basis lahirnya kebijakan menghadapi peristiwa bencana di masa depan.
Mengatasi banjir di Aceh dengan menghidupkan komunikasi Bencana
Alam akan marah jika kita berinteraksi dengan memperlakukannya secara kasar dan masa bodoh. Karenanya, manusia yang sedang memegang kekuasaan harus jauh dari sikap masa bodoh karena kebodohannya itu menyebabkan kerugian pada masyarakat dan alam itu sendiri.
Pemimpin bodoh yang bermasa bodoh seperti itu, layak dipenjarakan karena melanggar amanah konstitusi negara. Dan, akibat masa bodohnya terhadap resiko bencana, terjadilah kerugian berupa (1) kematian, (2) kehancuran sumber-sumber ekonomi dan (3) kepedihan mendalam yang berlangsung lama. Sebaliknya, pemimpin yang baik akan memahami pada level seperti apakah alam akan marah dan lalu memutahkan banjir bahkan melongsorkan tanahnya.
Para ahli kebencanaan Universitas Syiah Kuala (USK) mengetahui ciri-ciri alam yang berpotensi banjir, berpotensi banjir bandang, berpotensi longsor, dan sebagainya. Mereka juga mengetahui secara rinci skala kerusakan yang bisa ditimbulkan sehingga jauh-jauh hari merancang model mitigasinya. Ini tidak lain karena para ahli kebencanaan di USK memiliki kesadaran akan bahaya bencana yang setiap saat akan menyebabkan kerugian jiwa maupun harta.
Tetapi sayang sekali, sering terdengar kabar pemerintah Aceh dan kabupaten/kota lainnya hanya menganggapnya (potensi resiko bencana) yang disampaikan kalangan akademik tersebut sebagai masukan biasa saja tanpa menjadikannya landasan kebijakan penganggaran dan pembangunan yang tertuang dalam dokumen Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA). Pertanyaannya kemudian, apakah komunikasi bencana para intelektual itu ke para decision maker pemerintah itu gagal? jwabnya, bisa dikatakan gagal dan bisa juga tidak.
Apapun situasinya, komunikasi resiko bencana jelas mampu memastikan semua informasi dan pendapat diapndang penting dalam penilaian risiko yang efektif. Demikian juga outputnya dalam bentuk manajemen risiko, jelas akan membantu pemerintah memasukannya dalam proses pengambilan keputusan.
Pada akhirnya, kita akan kembali kepada alam dan penciptanya. Dan, doa kita semua, semoga banjir yang rutin di masa penghujan kelak akan ditangani dengan komuninkasi bencana yang semakin baik di Aceh.
*Mahasiswa Magister Ilmu Kebencanaan (MIK), Universitas Syiah Kuala (USK)