Memahami Pandangan Sayed Hasan bin Sayed Abbas tentang Pengeras Suara (Toa)

Memahami Pandangan Sayed Hasan bin Sayed Abbas tentang Pengeras Suara (Toa)

Oleh: Ambo Asse Ajis

 

Sayed Hasan bin Sayed Abbas adalah satu dari sekian banyak warga Banda Aceh yang sangat peduli dengan nilai-nilai penerapan Islam dalam lapangan kehidupan. Beliau tinggal di Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh, dikenal dengan sikap kritisnya atas berbagai gaya hidup umat Islam yang terkesan ada yang berlebihan dari nilai-nilainya.

Salah satu kritiknya yang cukup fenomenal tentang penggunaan pengeras suara di masjid yang sering disalahartikan. Sayed Hasan bin Sayed Abbas mengatakan perlunya pengaturan besar kecilnya volume pengeras suara agar suara menjadi lebih nyaman, lembut dan enak sehingga warga mampu menangkap maknanya.

“Suara apapun dari masjid itu adalah keindahan, amal ibadah, menenangkan dan menyenangkan akal serta pikiran” kata beliau dalam sebuah wawancara dengan wartawan nasionalmerdeka.com yang bertandang kerumahnya.

“Alat pengeras suara (toa) itu harus selalu diperiksa agar fungsinya sebagai sarana menyampaikan kumandang azan, dakwah, informasi sosial lainnya bisa tersampaikan dengan benar karena terdengar jelas. Maaf, sayangnya, di beberapa tempat pengeras suara terdengar sangat nyaring, memekakan telinga. Di tempat saya ini, alhamdulilah sudah tidak nyaring memekan telinag lagi. Kini suara toa pengeras suara masjid semakin bagus, lembut, terdengar jelas dan tidak memekakan telinga. Tentu pengelola masjid seperti ini akan mendapatkan apresiasi yang baik dari semua warga. Dan, kalau menurut aturan surat erada (SE) menteri Agama, seharunyas kekuatan pengeras suara di masjid itu di angka 10 dB.”

Sayed Hasan bin Sayed Abbas mencontohkan pandangan tentang hal ini bahwa dalam Alquran dan hadis memang tidak ditemukan istilah spesifik mengenai toa masjid karena hal ini persoalan masa kini dan tidak ada pada masa nabi. Tetapi, pandangan akan keras dan lembutnya suara dalam beribadah dapat ditemukan ayat-ayat relevan yang dapat menjadi isyarat proporsionalitas dan moderasi beragama.

Allah swt. berfirman:

وَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَۗ اِنَّ اَنْكَرَ الْاَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ

Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman [31] ayat 19).

Imam al-Qurthubi dalam kitabnya al-Jami’ li Ahkam Alquran. Menurutnya, maksud dari Surah Luqman [31] ayat 19 di atas adalah janganlah memaksakan diri mengeraskan suara dan ambillah suara sesuai kebutuhan. Sebab, mengeraskan suara melebihi kebutuhan itu merupakan usaha memaksakan diri yang menyakitkan (https://tafsiralquran.id/aturan-toa-masjid-dan-refleksi-moderasi-islam)

Sayed Hasan bin Sayed Abbas selalu menginginkan pengeras suara (toa) di masjid-masjid umat muslim  seluruh dunia akan selalu konsisten bersuara yang nyaman, menenangkan dan sangat indah terdengar telinga bagi seluruh warga mulai yang tinggal dekat mesjid hingga yang yang terjauh sekalipun.

ada beberapa usulan beliau kepada pengurus masjid agar memperhatikan pengaturan suara, pertama, letak toa sebaiknya lebih tinggi dari rumah-rumah warga, apakah itu di atas menara atau di atas atap.

“kalau letaknya tinggi dari atap rumah, maka arah horizontal suara tidak sepenuhnya masuk ke dalam rumah.”

Kedua, arah mulut pengeras suara seharusnya tidak mengarah kebawah tanah atau rumah.

“kalau arah pengeras suara menghadap ke tanah, otomatis kekuatan suara maksimal akan terfokus ke tanah dan memantul ke rumah warga terdekat saja. Ini tidak akan maksimal mengjangkau rumah kaum muslimin yang jauh dari masjid”

Ketiga, pengerus mesjid yang menangani pengeras suara harus memiliki kepekaan atau kemampuan mendengarkan masukan warga agar pengeras suara masjid bisa semakin efektif, efisien dan fungsinya tersampaikan kepada kaum muslimin.

“ini tiga saran saya kepada para pengurus masjid agar benar-benar memperhatikan dan tidak menyepelekan soal pengeras suara. Saya sangat mencintai masjid  karena ia adalah rumah Allah. Allah tentu sangat menyayangi hamba-hambanya yang mengatur teknis suara masjid yang nyaman, tidak nyaring menyakitkan telinga”.

Diakhir dialog yang sangat rileks, Sayed Hasan bin Sayed Abbas menceritakan kisah dari al-Qurthubi yang kontekstual dengan suara, yaitu kisah Umar bin Khattab yang pernah menegur muazin karena terlalu memaksakan untuk meninggikan suara (berteriak sekeras-kerasnya). Umar berkata “aku takut perut bagian pusar hingga rambut kemaluanmu (diagfragma) sobek.” Teguran Umar bin Khattab itu memberi pesan bahwa azan tidak boleh dilakukan secara melampaui batas sampai-sampai menyakiti diri sendiri ataupun orang lain. Bukankah teguran ini sesuaisabda Nabi Muhammad saw bahwa “Tidak boleh menyakiti orang lain dan tidak boleh membalas menyakitinya,” (HR Ahmad dan Ibn Majah). Wallahualam