Ambo Asse Ajis*
Bagi umat Islam, bangunan masjid adalah tempat ibadah. Begitupun dengan segala atribut yang ada pada bangunan masjid, tentu terhubung dengan konsep teologi Islam.
Pada era kerajaan Islam di Nusantara, atap masjid umumnya memiliki bentuk empat persegi dengan bagian tengahnya meninggi membentuk kerucut mirip dengan bentuk umum piramid. Masjid masa kerajaan memiliki atap bertingkat 2, 3, 5 dan bahkan ada yang 7.
Ada sebagian orang mencoba mengaitkan atap susun pada masjid mirip dengan Meru, padahal keduanya jelas berbeda baik konteks maupun historinya.
Pengertian meru dapat ditemukan dalam kamus besar indonesia (KBBI) dimana ditulisakan /me·ru/ /méru/ n 1 gunung dalam mitologi Hindu tempat persemayaman para dewa dan makhluk kedewaan, serta menjadi pusat jagat raya; 2 ragam hias berbentuk segitiga sebagai lambang persemayaman dewa; 3 bangunan yang terdapat di kuil, merupakan tempat persembahan, terdiri atas 3—11 atap atau tingkat (di Bali); 4 Bl atap bangunan pura yang bersusun dan semakin ke atas semakin kecil.
Masjid/mas·jid/ n rumah atau bangunan tempat bersembahyang orang Islam.
Dari kedua istilah menunjukan makna yang berbeda dan sejarah yang berbeda sehingga mengaitkan Meru dengan atap susun pada Masjid jelas keliru dan mengada-ada.
Lalu mengapa atap Masjid di masa lalu bersusun?
Ada dua alasan teknis, pertama, kebutuhan teknis agar suara azan bisa menjangkau umat Islam di sekitar masjid saat itu. Tempat muadzin yang tinggi bisa meningkatkan kemampuan suaranya menjangkau area lebih luas. Dalam hal ini, semakin tinggi posisi muadzin melakukan azan sangat berkorelasi dengan luas jangkaun suaranya.
Kedua, alasan penambahan tingkat atap pada Masjid pada masa kerajaan Islam juga dapat diartikan semakin padat dan atau melebarnya permukiman di sekitar Masjid. Hal ini terjadi karena masjid selalu menjadi inti permukiman sekaligus denyut nadi aktivitas kehidupan masyarakatnya. Artinya, semakin banyak jumlah atap susun masjid menandakan meluaskan permukiman saat itu.