Batam, nasionalmerdeka.com | AANG RIDWAN dalam buku Komunikasi Antarbudaya: Mengubah Persepsi dan Sikap dalam Meningkatkan Kreativitas Manusia (2016), menjelaskan definisi culture shock atau gegar budaya yang kerap dialami sepanjang peradaban anak manusia.
Menurutnya, gegar budaya adalah kondisi saat seseorang mengalami guncangan mental dan jiwa, yang disebabkan adanya ketidaksiapan dalam menghadapi kebudayaan asing dan baru baginya. Kondisi tersebut menyebabkan seseorang stres, frustasi, gelisah, tidak percaya diri, hingga depresi.
Contoh kecil, saat kita yang terbiasa makan nasi dengan toilet jongkok, harus pindah ke negara yang makan roti dan kentang, dengan toilet duduk dan cuci pakai tisu. Tentu sedikit banyak menimbulkan masalah baru.
Belum lagi jika bicara soal iklim, kultur hingga agama, sehingga dipaksa adaptasi diri dengan kebiasaan baru.
Atau di era komunikasi digital seperti saat ini, gegar budaya lebih banyak menyangkut soal unggahan di media sosial. Akibat banyak yang tak paham bahwa komunikasi dan informasi itu terikat oleh ruang dan waktu. Jika hal tersebut dibawa ke luar kerangkanya, maka akan memunculkan kegaduhan.
Maka itu gegar budaya harus segera dihadapi dengan baik dan benar, dengan berpikir terbuka, membuka diri dengan hal baru, atau jika memungkinkan terlibatlah secara langsung dengan budaya baru tersebut.
Cara lain, bisa mengembangkan sikap dalam filosofi yang dikenal luas masyarakat Jawa yaitu ojo gumunan (tidak gampang heran), ojo kagetan (tidak mudah terkejut), dan ojo dumeh (tidak mentang-mentang).
Bagaimana menurut Anda? (nursalim Turatea).
___
HADAPI DENGAN SENYUMAN: Wakil Gubernur Kepulauan Riau Hj Marlin Agustina, menunjukkan sesuatu di layar ponselnya, kepada sang suami, Wali Kota Batam/Kepala Badan Pengusahaan Batam H Muhammad Rudi (HMR), di sela menghadiri sebuah acara. Keduanya juga kerap dihadapi dengan gegar budaya. “Hadapi saja dengan senyuman,” kiat Marlin suatu ketika.