Zikri Iwan Sempena*
Seiring perkembangan zaman, tampaknya produksi sampah selalu akan menjadi salah satu permasalahan yang akan dihadapi umat manusia. Bagaimana tidak, dalam kehidupan sehari-hari disamping produksi materi dari manusia sendiri, manusia juga secara mekanis telah memproduksi sampah secara bersamaan baik dalam bentuk organic atau anorganik. Dan diriringi perkembangan zaman, manusia juga berupaya dan berinovasi mengurai serta mengurangi sampah tersebut. Sebagai contoh sampah organik yang dimanfaatkan sebagai olahan pupuk organik. Namun berbeda dengan sampah yang sulit untuk terurai seperti plastik, botol kaca, besi alumenium dan sebagainya. Mungkin di negara maju pemanfaatan sampah anorganik lebih mutakhir ketimbang di negara berkembang semacam Indonesia. Misal adanya negara di Eropa yang telah memanfaatkan sampah sebagai pembangkit listrik, kemudian adanya produksi biji plasti dari sampah bekas. Itu di negara maju, lalu bagaimana dengan di Aceh Tengah?
Aceh Tengah juga memiliki problem yangbersebab-akibat dari manusia, yakni sampah.hal ini tentunya berpotensi mencemari lingkungan pegunungan, sungai, danau dan lain lingkungan yang ada di Aceh Tengah. Pencemaran lingkungan melalui sampah niscaya memberikan permasalahan bagi alam, seperti berpotensi menyebabkan krisis air bersih, pencemaran udara, dan menghilangkan keindahan alam juga tentunya.
Sejauh ini, pemerintah Aceh Tengah juga berupaya mengurangi (bukan mengurai) volume sampah di Aceh Tengah dengan penerapan TPA, yakni tempat pembuangan akhir. Namun pemerintah sendiri menyebutnya edukasi wisata pemerosesan sampah (EWPS). Penulis menyebutnya TPA. Isitilah EWPS mungkin hanyalah sebuah defenisi “manipulatif” dari pemerintah dan nyatanya, tempat pembuangan akhir atau TPA ini juga beberapa kali sempat berpindah titik.
TPA itu sempat berada di pegunungan Bur Lintang, Kecamatan Pegasing, lalu wilayah Genting, Kecamatan Silih Nara. Dan, dikarenakan menuai aksi protes dari kalangan mahasiswa STAIN Gajah Putih yang berada di Genting, sementara ini ditempatkan di Paya Ilang, Kecamatan Bebesen.
Di bulan April tahun 2021 lalu beredar sebuah kabar di media, TPA akan ditetapkan di daerah Kuyun, Kecamatan Celala hal tersebut menuai tanggapan dari salah satu ormas di daerah dengan dalih TPA atau EWPS tersebut terletak di wilayah kawasan hutan lindung. Tanggapan tersebut juga di balas pihak pemerintah dengan alasan TPA atau yang mereka sebut edukasi wisata pemrosesan sampah (EWPS) tidak terletak di area hutan lindung melainkan lokasinya berada di areal penggunaan lain (APL).
*Penulis adalah Mahasiswa UIN Ar Raniry, Aceh