Merakit Solusi Penanganan Sampah Di Aceh Tengah (2)

Zikri Iwan Sempena*

Hakekat sampah itu, tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring dengan produksi materi juga disampingi dengan produksi sampah pun yang melimpah (sebab-akibat produksi manusia). Sebutlah sebab dan akibat dari yang manusia lahirkan menciptakan mudharat lain, termasuk juga sampah masyarakat hehe…

Di Aceh Tengah sendiri, ada beberapa factor atau tempat yang berpotensi besar menjadi sebab timbulnya sampah, seperti pasar, industri kopi yang melahirkan sampah orgnik pada umumnya, kemudian lokasi wisata dan sebutlah tambang. Dimana letak tempat tersebut juga berdekatan dengan alam sekitar, misal Pasar Pagi lama dan Pasar Angkup yang bersampingan dengan sungai Peusangan, banyaknya objek wisata yang berada di seputaran pegunungan danau Lut Tawar. Hal ini tentunya merusak keindahan kekayaan alam yang berada di Aceh Tengah dan juga dapat menimbulkan bencana, seperti banjir, longsor pencemaran darat dan udara dan sebagainya.

Pemerintah berupaya mengurangi (bukan mengurai) sampah di kota, dengan cara mengirimnya ke desa dan pegunungan lainnya atau yang mereka sebut edukasi wisata itu apakah efektif ?. ini merupakan kebohongan yang dilakukan pemerintah kita, seolah-olah dengan kata edukasi wisata pemerosesan sampah (EWPS), sampah dapat mereka kendalikan. Nyatanya sampah yang dikeluarkan PEMDA atau PEMKOT ke luar kota sangat merugikan manusia, makhluk serta ekosistem lain. Bagaimana tidak meraka membuangnya ke wilayah gunung (Bur Lintang & Genting), bahkan Laut jika anda pergi ke pesisisir Lampulo atau Kampun Jawa di Banda Aceh misal.

Bagi kita masyarakat, apakah sudah membuang sampah pada tempatnya seperti yang dihimbau pemerintah?. Jika anda telah yakin membuang sampah pada tempatnya seperti yang diprogramkan pemerintah, maka sebenarnya anda telah membuang sampah sembarangan. Uiih kaget gak tu?. Ia begitulah, karna kita yang membuang sampah pada tempatnya (tong sampah), justru pemerintah malah menjadikannya limbah, dengan mengumpulkan sampah yang anda letakkan di tong sampah tadi, kemudian membuangnya sembarangan ke pegunungan dan lautan dengan mengatakan mereka punya kekuasaan (izin buang sampah). Dari tulisan ini penulis berupaya menyampaikan bahwa pengadaan TPA tidak layak untuk diterapkan. Hal itu dikarnakan seperti yang telah tersebutkan di atas.

TPA boleh saja diterapkan dengan syarat TPA bukan hanya tempat pengurangan tapi juga penguraian sampah dengan cara pemerosesan sampah dengan upaya pembakaran dan pemanfaatan sampah, bukan menelantarkan. Ini merupakan salah satu jalan alternative. Adapun langkah lanjutan dan langkah lainnya adalah adalah penguraian sampah mandiri. Maksudnya adalah sampah diproses baik dengan pemusnahan atau pemanfaatan secara mandiri oleh individu rumah, desa atau kecamatan. Hal tersebut guna menghindari penumpukan sampah secara besar-besaran, maka pemerosesan sampah secara mandiri menurut hemat kami cukup efektif dilakukan, dimulai dari pribadi, gampong, hingga kecamatan, hitung-hitung sebagai pemanfaatan dana gampong dan kecamatan.

Mengapa gagasan pengolahan sampah mandiri tidak diterapkan. Misalnya,  setiap gampong atau kecamatan mengolah sendiri sampah-sampahnya. Jika ada kebijakan seperti ini maka pemda Aceh Tengah ataupun pemda dan pemkot lain tidak lagi bertanggung jawab penuh atas sampah itu, melainkan sudah tugas mandiri dari desa atau camat yang harus menyediakan dan mengelola TPA di masing-masing kecamatannya atau desanya. TPA mandiri  bekerja menguraikan sampah dengan pemanfaatan atau pemusnahan, dan tentu saja bukan menelantarkan sampah.

Penulis ingatkan pada setiap kita untuk menanamkan kesadaran masing-masing serta upaya atau kampanye tentang sampah ini harus kita lakukan secara besar-besaran dan lebih giat lagi.

Kesimpulan

Sampah merupakan salah satu permasalahan yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia, terutama dalam kehidupan sehari-hari. Perharinya manusia dalam kelompok sosialnya mampu menciptakan ratusan kilo bahkan hitungan ton sampah perharinya. Oleh karna itu perlu kampanye dan pengendalian sampah secara besar-besaran serta efektif. Pengadaan tempat pembuangan akhir (TPA) atau dalam bahasa kerennya edukasi wisata pemerosesan sampah (EWPS) bagi kami sendiri kuranglah efektif. Hal tersebut dikarnakan program tersebut semacam pengurangan sampah di kota yang dibuang ke desa atau wilayah pengunungan lain yang masih asri. Selain pengurangan sampah, penguraian sampah juga tak kalah penting.

Selama ini pemerintah dan kita sendiri terfokus pada pengurangan sampah bukan peguraiaan. Jika mengikuti di sebagian negara maju yang menjadikan sampah menjadi sebagai tenaga atau pembangkit listrik dan benda budaya lain, rasanya cukup berat mengingat statsu negri ini yang tergolong berkembang dan pemerintahnya yang mungkin terlalu boros menggunakan anggaran. Oleh karna itu kami menawarkan sebuah pilihan yang kami sebut dengan pengolahan  atau pemerosesan sampah mandiri.

Pemerosesan sampah mandiri adalah upaya pengelolaan sampah terkhusus secara individu atau juga perdesa dan perkecamatan. Maksudnya yaitu untuk menghendari peneumpukan sampah secara besar-besaran oleh PEMDA atau PEMKOT di desa maupun wilayah pegunungan lain. ada baiknya kita secara individu mengolah sampah secara individu atau dalam skala perdesa atau perkecamatan, yang mana sampah tersebut sudah menjadi tanggung jawab regional desa atau camat. Dalam arti lain desa atau camat mengadakan TPA sendiri dan memeroses sampah sesuai tanggungan wilayahnya, guna mengghindari penumpukan sampah secara besar-besaran dan pembuangan sampah sembarangan (gunung, hutan, wilayah sunyi) dengan mengatas namakan wewenang. Sekali lagi kami ingatkan, kita berupaya menguraikan dan bukan hanya mengurangi.

*Penulis adalah Mahasiswa UIN Ar Raniry, Aceh