Banda Aceh, 31/12/2022. Hasil Seminar Asyraf Aceh berjudul “Wakaf Orang Aceh di Mekkah” telah selesai diaksanakan pada hari Selasa, 27 Desember 2022. Seminar dalam bentuk webinar pada Selasa 27 Desember 2022 tersebut diadakan oleh Yayasan Asyraf Aceh Darussalam.
Tiga pemateri ikut berbicara topik terkait. Yaitu Dr. Nazaruddin, MA (Rektor IAI Al-Muslim Peusangan), Dr. Mizaj Iskandar LC, LL.M (Ketua Yayasan Wakaf Baitul Asyi), dan Hermansyah M.Th, M.Hum (Akademisi UIN Ar-Raniry/ahli filologi). Acara dimoderatori oleh Masykur, M.Hum (Direktur Pedir Museum). Selain itu juga ada kata sambutan baik dari Asyraf Aceh diwakili oleh Sayed Murtadha Al-Aydrus, dan juga Bapak Yasin dari Kabid Penais Zawa Kanwil Kemenag Aceh.
Berdasarkan kajian terhadap naskah, dokumen, manuskrip atau data-data otentik sejarah, diketahui bahwa:
- Sebagaimana tertulis dalam dokumen resmi wakaf tertanggal 18 Rabiul Akhir 1224 H (1809 M) nama asli pewakaf Baitul Asyi adalah “Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi Al-Jawi” (الحاج حبيب بن بوجع الآشي الجاوي). Namanya muncul dua kali dalam surat wakaf tersebut. Haji, Al-Asyi dan Al-Jawi adalah gelarnya (seorang bergelar haji berasal dari Aceh/Melayu). Sementara nama aslinya sendiri adalah Habib bin Buja’ (artinya: Habib anak dari Buja’).
- Dari namanya terindikasi bahwa beliau bukan seorang sayed/habib dari golongan asyraf (keturunan Rasulullah SAW). Melainkan hanya seorang ahwal bernama Habib yang ayahnya (bin) bernama Buja’. Di daerah Arab dan juga banyak daerah lainnya di luar itu, biasa jika seseorang bernama Habib saja, walaupun dia bukan seseorang dari golongan habib/asyraf. Sejak masa nabi dan setelahnya sudah ada yang bernama Habib, walau dia bukan dari keluarga Nabi. Misalnya Habib bin Nahar, Habib bin Zaid, dsb. Di Aceh pun sampai sekarang ada nama orang Habib, tapi bukan seorang dari kaum Habaib. Bahkan di wilayah Arab, panggilan kehormatan “sayyid” (artinya “tuan”) juga sering ditujukan kepada yang bukan dari golongan sayyid/asyraf.
- Bin Buja’ pada nama beliau menunjukkan nama ayahnya. Bukan merujuk ke Bugak sebagai sebuah wilayah di Aceh. Hanya nama “Al-Asyi” yang merujuk kepada asal beliau, yaitu Aceh.
- Peneliti menemukan, penulisan kata Buja’ dalam dokumen wakaf Baitul Asyi berbeda dengan kata Bugak. Buja’ di tulis dengan huruf ba-waw-jim-ain (بوجع). Sementara Bugak dalam manuskrip ditemukan ditulis dengan huruf ba-waw-kaf-alif-hamzah (بو كاء).
- Nama Haji Habib bin Buja’ ditemukan dalam dua dokumen. Pertama dalam dokumen wakaf tertanggal 18 Rabiul Akhir 1224 H. Kedua, tertulis kembali dalam dokumen pembaharuan wakaf pada tahun 1991. Ini menandakan nama tersebut memang nama asli dari pewakaf.
- Dalam mazhab Syafi’i (sebagaimana mazhab yang dianut Haji Habib bin Buja’) mewajibkan wakaf dilakukan dengan nama asli. Bukan dengan nama palsu, nama samaran ataupun lakab lainnya. Konon lagi, wakaf dilakukan secara legal, formal, detil dan rapi dihadapan qadhi mahkamah syariah Mekkah. Tentu seorang wakif harus mendaftarkan asetnya dengan nama asli (ismu dhahir). Karena itulah nama Haji Habib bin Buja’ adalah nama nyata dari pewakaf tersebut. Berbeda halnya dengan sedekah informal yang biasa menggunakan identitas “hamba Allah” atau laqab lainnya untuk menyembunyikan nama asli. Orang Aceh banyak yang memiliki laqab. Tapi juga punya nama asli. Khususnya untuk manuskrip legal, itu digunakan nama aslinya. Teungku Syiah Kuala misalnya, itu laqab dalam tradisi tutur. Tapi dimana-mana dalam berbagai dokumen tertulis nama asli “Abdurrauf”.
- Tidak diketahui secara pasti dimana Haji Habib bin Buja’ wafat dan dimakamkan. Peneliti menduga beliau wafat dan dikebumikan di Mekkah. Dalam data pemerintah Arab Saudi memang ditemukan seseorang bernama Ibnul Buja’ yang pernah dimakamkan di pekuburan Al-Ma’la di dekat Masjidil Haram Mekkah. Boleh jadi itu adalah Habib bin Buja’. Namun perlu penelitian lebih lanjut.
- Dari penelitian ini disimpulkan, Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi dan Sayed Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi adalah dua tokoh berbeda. Nama Sayyid Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi sendiri dalam berbagai dokumen sejarah ditulis sebagai Sayed, Teungku Sayed Abdurrahman ibnu Alwi (dok. 27 Safar 1206 H/1791 M), atau langsung disebut sebagai Habib Abdurrahman Al-Habsyi (dok.1877). Tidak ditemukan manuskrip, sarakata ataupun dokumen sejarah yang menyebutkan bahwa Sayed Abdurrahman bin Alwi sebagai “Habib Bugak”. Bahkan sebuah dokumen lainnya menunjukkan jika nama beliau ditulis dalam laqab Peusangan (Sayyid Abdurrahman bin Alwi Peusangan), bukan dengan laqab Bugak. Juga tidak ada satupun dokumen yang menyebutkan bahwa Sayed Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi punya aset wakaf di Mekkah, kecuali menerima sejumlah aset wakaf di wilayah Peusangan dan sekitarnya. Jadi, yang disebut “Habib Bugak” sebagai pewakaf Baitul Asyi bukanlah Sayed Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi, melainkan sosok lain yaitu Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi Al-Jawi.
- Hasil kajian ini menyarankan masyarakat untuk kembali memahami kedua tokoh penting ini dalam dua konteks berbeda. Baik Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi Al-Jawi maupun Sayed Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi keduanya adalah tokoh penting yang kebetulan hidup pada masa yang beririsan.
Acara yang berlangsung selama 2 jam tersebut telah memantik diskusi yang hangat serta menyajikan berbagai analisis, data dan fakta-fakta menarik seputar sosok pewakaf Baitul Asyi, serta peran dan kontribusi wakaf orang Aceh di Mekkah. (Red)
NOTE:
(1) Video Lengkap Webinar dapat diakses di >> ……….
(2) Dokumen wakaf Baitul Asyi beserta terjemahannya dapat diakses di: https://www.mapesaaceh.com/2018/11/arsip-surat-pengesahan-waqaf-haji-habib.html?m=1