Oleh : HG Sutan Adil
Sejak kembalinya Belanda ke Nusantara sebagai pelaksanaan dari perjanjian London tahun 1814 dan setelah pendudukan Inggris selama sekitar lima tahun (1811-1816) juga sebagai bagian dari kawasan yang diserahkan kepada Belanda, maka sejak Nopember 1816 wakil Belanda, Klaas Heynis, berkedudukan sebagai residen di Kesultanan Palembang. Banyak terjadi kekacauan khususnya di daerah perbatasan (Lampung dan Bengkulu), dan di daerah Hulu, serta perairan Palembang-Bangka.
Sultan Najamuddin II (adik Sultan Badaruddin II) yang berkuasa pada waktu itu untuk daerah sekitar Palembang tidak mampu berbuat banyak menghadapi hal tersebut. Saat itu terjadi dualisme kepemimpinan sultan di Palembang, yaitu Sultan Najamuddin II yang lebih dekat dengan Inggris dan Sultan Mahmud Badaruddin II yang didukung oleh Belanda.
Setelah serah terima kekuasaan, selanjutnya Belanda kembali mengangkat Herman Warner Muntinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah mendamaikan kedua Sultan yang masih belum berdamai. Tindakannya berhasil, Sultan Mahmud Badaruddin II berhasil naik takhta kembali pada 7 Juni 1818. Sementara itu, Sultan Najamuddin II yang bersekutu dengan Inggris berhasil dibujuk oleh Muntinghe ke Batavia sebelum akhirnya dibuang ke Cianjur.
Kehadiran pihak Belanda di Palembang bukan tanpa alasan. Rupanya mereka telah mengetahui bahwa wilayah Kesultanan Palembang adalah salah satu penghasil lada terbesar di nusantara. Selain itu, wilayah Bangka dan Belitung yang merupakan bagian dari Kesultanan Palembang juga dikenal sebagai penghasil timah yang cukup besar. Belum lagi letak Palembang yang cukup strategis sehingga menjadi persinggahan kapal-kapal dagang dari luar kian membubungkan hasrat Belanda untuk menguasai Palembang secara de facto.
Sebagai komisaris baru di Palembang, Mutinghe mulai melakukan penjajahan secara perlahan ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang. Ia berdalih ini sebagai bentuk inventarisasi wilayah, padahal ini adalah triknya untuk menguji kesetiaan Sultan Mahmud Badaruddin ll. Akan tetapi di daerah Muara Rawas, Mutinghe dan pasukannya diserang oleh pengikut Sultan Mahmud Badaruddin ll.
Setelah kembali dari sana, Mutinghe bermaksud memaksa kesultanan Palembang agar menyerahkan Putra mahkota dengan maksud sebagai jaminan agar kesultanan Palembang selalu setia terhadap pemerintah Belanda, namun sampai habis batas penyerahannya kesultanan Palembang tidak menyerahkan Putra mahkotanya. Sikap Belanda yang terlalu mencampuri urusan kesultanan dan mengekang kesultanan agar tunduk kepada Belanda, lambat laun membuat Sultan Mahmud Badaruddin II habis kesabarannya.
Pertempuran pertama akhirnya pecah pada tanggal 12 Juni 1819. Lantaran seorang ulama ditembak mati oleh tentara Belanda tanpa sebab yang jelas. Pertempuran hebat pun terjadi. Sekitar 200 prajurit Belanda dikerahkan untuk menggempur benteng pertahanan Kesultanan Palembang yang bernama Kuto Besak.
Tepian sungai Musi menjadi saksi bisu atas dentuman meriam dan kilatan mata pedang dari kedua bela pihak. Pertempuran pun terus berlanjut hingga 15 Juni 1819. Tapi karena kuatnya pertahanan Palembang yang sulit ditembus dan banyaknya korban di pihak Belanda, maka Mutinghe menarik mundur sisa pasukannya ke Bangka dan menutup muara Sungai Musi (Sungsang).
Pascakemenangan tersebut, Kesultanan Palembang dihadapkan pada kemungkinan datangnya balasan dari pihak Belanda. Untuk itu, maka Sultan harus mempersiapkan diri. Untuk menghadapi serangan musuh, Sultan bersama-sama rakyatnya melakukan berbagai persiapan. Dalam waktu sekitar tiga bulan, hal penting yang disiapkan oleh Sultan adalah mendirikan benteng-benteng dalam rangka pertahanan.
Sekembalinya ke Batavia, mutinghe memberitahukan keadaan peperangan kepada pemerintah di Batavia saat itu, gubernur jendral G.A.G.ph Van Der Capellen. Van Der Capellen lantas mengadakan perundingan dengan Laksamana Constantijn Johan Wolterbeek dan Mayjen Hendrik Markus De Kock bagaimana caranya menaklukkan Kesultanan Palembang yang sangat sangat tangguh itu. Akhirnya pihak Belanda memutuskan untuk kembali menyerang Palembang. Maka Belanda mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan penuh.
Jumlah personil yang dikerahkan berjumlah 2000 personil dan puluhan kapal tempur. Hal ini bertujuan untuk menggulingkan Sultan Mahmud Badaruddin ll dan menguasai Palembang secara penuh, dan mengganti Sultan Mahmud Badaruddin dengan pangeran yang didukung oleh Belanda.
Kabar bahwa Belanda mengirimkan pasukan ekspedisi ke Palembang telah didengar oleh Sultan Mahmud Badaruddin ll, maka ia mempersiapkan pertahanan yang lebih tangguh di beberapa tempat di sungai Musi sebelum masuk ke Palembang. Sultan kemudian menjalankan strategi perbentengan di antara Pulau Kembaro serta beberapa pulau kecil lainnya serta wilayah perairan Plaju yang menjadi pintu masuk ke Kota Palembang. Sultan juga memerintahkan untuk membuat pancang-pancang kayu yang berfungsi menahan majunya kapal-kapal Belanda dari depan, sedangkan dari belakang armada itu nantinya akan diserang oleh rakit-rakit.
Jika taktik ini berhasil maka armada Belanda akan terjebak di sekitar Pulau pulau tersebut dan wilayah perairan Plaju sehingga benteng-benteng yang bermeriam akan menggempur armada yang terkurung itu.
Sebagai pihak kalah, pemerintah Belanda di Batavia memutuskan untuk menuntut balas. Untuk itu, penguasa Belanda mengirim ekspedisi di bawah komando Laksamana C. Wolterbeek. Armada yang dikerahkan terdiri dari kapal perang dan pengangkut, antara lain kapal Wilhelmina, Irene, Iris, Tromp, Arinus, Marinus, Admiraal Buyskes, de Emma, Waterbik, Blucher, Ajax, dan Henriette Betthy. Disertakan pula kapal meriam nomor 17 dan no. 18, ditambah 14 cunia. Total serdadu yang dilibatkan sebanyak 1500-an orang yang dikumpulkan dari Batavia, Semarang, Surabaya, dan tambahan orang-orang Melayu yang berkhianat kepada Sultan Mahmud Badaruddin II.
Melihat besarnya armada yang dikerah dan banyak serdadu, menunjukkan bahwa ekspedisi itu dipersiapkan dengan matang dengan kemanangan sebagai tujuan utama. Kekalahan dalam perang Juni 1819 merupakan tamparan berat bagi supremasi Belanda di Nusantara.
Pada tanggal 21 oktober 1819 pecah pertempuran yang kedua di sungai Musi. Pihak Belanda dipimpin oleh Wolterbeek dan Kesultanan Palembang dipimpin sendiri oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Terjadi tembak menembak meriam di kedua belah pihak.
Sejak armada Belanda tiba di Sungsang (September 1819), kawasan itu dibumihanguskan oleh laskar Palembang. Pihak Palembang memilih untuk mengosentrasikan perlawanan mulai dari Pulau Keramat. Ekspedisi Belanda dihadapkan pula dengan kayu-kayu besar yang mengapung sehingga menyulitkan armada mereka bergerak, kesulitan itu makin bertambah dengan munculnya rakit-rakit yang dibakar. Rakit-rakit itu menghantam kapal-kapal dan perahu-perahu ekspedisi Belanda. Mereka juga dihadapkan dengan kondisi alam yang keras karena panas yang sangat mendera khususnya bagi serdadu Eropa, serta jalur sungai yang dangkal dan berliku.
Akibatnya, dari 21 September- 11 Oktober 1819, lima orang meninggal, dan sebelas orang sakit.
Dengan demikian, peperangan belum terjadi, namun mereka sudah menelan kerugian yang besar. Gerak laju armada Belanda tertahan di dekat benteng Pulau Keramat. Terjadi pertempuran sengit di lokasi itu. Dalam insiden itu pasukan Belanda mengalami kerugian dengan terbunuhnya lima orang serdadu, ditambah tujuh orang terluka. Meskipun terhambat, pasukan Belanda terus bergerak mendekati ibu kota Palembang.
Pada 17 Oktober 1819 di benteng Pulau Salanama kembali terjadi pertempuran. Setelah keadaan reda, perlahan armada pasukan Belanda berhasil mendekati pusat pertahanan Palembang Pulau Kemaro. Tetapi pertahanan benteng Pulau Kemaro sangat kuat. (Bersambung)
*) Penulis Adalah Pemerhati Sejarah dari Sutanadil Institute
Bagor, 03 Januari 2022