Oleh : HG Sutan Adil
Pasukan Belanda dalam ekspedisi terkejut, karena hanya dalam tempo sekitar tiga bulan, Sultan dan rakyat Palembang telah berhasil membangun sistem pertahanan yang sangat kuat. Suatu hal diluar perkiraan mereka, sebagaimana dinyatakan oleh Kapten Meis dalam memorinya bahwa Badarudin telah mempersiapkan suatu proyek pertahanan raksasa. Apa yang disampaikan di atas tidaklah berlebihan, karena sebuah kerja yang sangat besar dan berat dapat diwujudkan dengan hasil yang sangat mencengangkan. Palembang mampu membangun pertahanan yang begitu kuat dalam waktu yang sangat singkat.
Benteng Pulau Kemaro baru dapat didekati oleh armada Belanda pada 18 Oktober 1819. Beberapa kali mereka mencoba mendekati benteng-benteng pertahanan Palembang selalu gagal. Serangan gencar yang mereka lakukan dari kapal Eendracht, Ajax, Irene, Wilhelmina, Arinus Marinus, dan Emma dua hari berikutnya, Penyerangan itu mendapat balasan dari benteng-benteng Palembang, sehingga terjadi peperangan yang dahsyat. Perlawanan yang hebat dari Pasukan Palembang, dan derasnya aliran Sungai Musi, serta kencangnya angin memaksa Belanda mundur.
Kerugian yang mereka derita adalah sebanyak 125 orang serdadu terbunuh, dan 46 orang terluka. Sedangkan, dipihak Palembang tidak mengalami kerugian yang berarti. Dalam laporannya Wolterbeek menyatakan bahwa kerugian yang diderita oleh pasukan Belanda tidak sebanding dengan kegagalan yang harus mereka pikul.
Peperangan pecah kembali pada hari-hari berikutnya, namun tetap tidak membawa hasil yang menggembirakan bagi pasukan Belanda. Menurut Wolterbeek, sesungguhnya pertahanan Palembang dapat ditembus asalkan pusat pertahanan (benteng Pulau Kemaro) mereka berhasil didekat. Namun, mereka tidak memiliki sarana (perahu perahu kecil untuk mempermudah pendaratan), sedangkan kondisi mereka pada waktu sudah sangat lemah dengan banyaknya korban jiwa, dan persenjataan. Posisi pasukan Belanda semakin terdesak yang akhirnya pada 30 Oktober 1819, Laksamana Wolterbeek memutuskan untuk mundur ke Sungsang dan memblokade daerah itu.
Kekalahan tersebut membuat geram petinggi-petinggi di Batavia dan akhirnya Wolterbeck diturunkan dari jabatan panglima perang di Palembang. Kali ini Belanda mempersiapkan secara besar-besaran keperluan perangnya di Palembang. Persiapan dilakukan selama 3 tahun, dari tahun 1819 sampai 1821. Untuk memperkuat armada tempurnya, Belanda memesan kapal-kapal langsung dari Amsterdam. Selain itu, Belanda juga mendatangkan pasukan Eropa yang merupakan veteran pada masa perang Napoleon.
Untuk pemimpin armada kali ini adalah Mayor Jendral de Kock. Kekuatan Belanda saat itu ditaksir mencapai 10 kali lipat lebih besar dari serangan keduanya, dengan jumlah personil sebanyak 7000 orang dan kapal tempur berjumlah 47 buah. Armada besar itu akhirnya berangkat ke Palembang pada 9 Mei 1821 dari Batavia.
Di kubu kesultanan sendiri, setelah pertempuran tanggal 21 oktober 1819, Sultan Mahmud Badaruddin II lalu mengangkat anaknya, Pangeran Ratu menjadi Sultan di Kesultanan Palembang dengan gelar Ahmad Najamuddin lll. Hal ini dilakukan karena Sultan Mahmud Badaruddin II ingin tetap fokus melawan Belanda dan mengusirnya dari tanah Palembang.
Maka komando perang masih tetap dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Sultan juga mempersiap perlawan rakyat semesta dengan kekuatan sekitar 7000 sampai 8000 orang.Benteng-benteng di Pulau Kembaro dan Plaju diperkuat kembali dengan meriam-meriam yang dibeli oleh sang Sultan dari seorang Eropa. Sultan memasang meriam-meriam, dan peluru-peluru (dari Sungsang sampai Pulau Kemaro disiapkan 60 lobang tembakan), menyiapkan rakit-rakit yang mudah dibakar, rakitrakit inilah yang akan menghantam armada Belanda, membuat benteng pertahanan di Sunsang (dua kubu denganluas bangunan berkisar 15.24 meter sampai 22.86 meter), benteng di Pulau Keramat, Pulau Salanama, Pulau Gombora (Kembara atau Kemaro, di bagian tenggara pulau ini disiapkan 12 lobang tembakan), Plaju dan benteng di pulau buatan di tengah Sungai Musi (benteng ini dilengkapi tiga lobang tembakan).
Di tiap sudut pulau tersebut ditempatkan meriam dengan masing-masing dua lobang tembak. Tiap benteng diperkuat dengan 50 meriam dengan ukuran 8 pon sampai 24 pon, sedangkan sisi darat dibangun pagar yang sangat kokoh, tertutup pula oleh pohon-pohon besar yang rindang. Pertahanan lain adalah menutup Sungai Musi dengan memasang tonggak-tonggak dari Pulau Kemaro sampai Plaju garis, dengan garis tengah 61 sentimeter. Tonggak-tonggak itu ditancapkan di sungai pada kedalaman 24,4 meter. Pertahanan semakin lengkap dengan disiagakannya sebuah kapal layar tiga tiang dan beberapa perahu bersenjata.
Di muara Plaju dan dibagian belakang bentengnya, dan di depan benteng Kemaro disiagakan rakit-rakit yang siap dibakar. Sedangkan di sisi kiri-kanan Sungai Musi banyak terdapat rawa-rawa dan anak-anak sungai (ibu kota Palembang terkenal sebagai kota yang dialiri oleh 20 sungai). Semua itu menjadi pertahanan alam yang sangat baik, sekaligus untuk melakukan penyerangan terhadap musuh. Benteng Kuto Besak, sebagai pusat kekuasaan Sultan, dilengkapi dengan meriam-meriam berbagai ukuran.
Armada de Kock pun akhirnya tiba di muara sungai Musi pada 22 Mei 1821. Hambatan-hambatan yang ditemui oleh Wolterbeck saat serangan kedua bisa ditangani dengan baik oleh de Kock. Pos-pos meriam tersembunyi di pesisir sungai Musi bisa diketahui dan dihancurkan karena dia telah mendapatkan peta strategi Badaruddin II dari mata mata yang berkhianat. Satu-satunya hambatan yang berarti bagi armada itu hanyalah penyakit. Banyak serdadu-serdadu Eropa yang belum bisa beradaptasi dengan cuaca tropis dan akhirnya 100 personil tewas akibat wabah penyakit tropis. Pada 16 Juni 1821, armada itu sampai ke mulut Pulau Kembaro dan Plaju.
Usahanya untuk melumpuhkan benteng Tambak Baya, salah satu posisi vital pasukan Palembang, berakhir dengan kegagalan. Akibatnya de Kock terpaksa berlayar menerobos jebakan di sekitar Pulau Kembaro dan Plaju itu. Pertempuran sengit terjadi kembali. Di saat kapal-kapal itu berupaya menerobos pancang kayu, tembakan meriam dan rakit-rakit api memporak-porandakan formasi armada de Kock. Banyak kapal de Kock yang kehilangan tiang layarnya dan menjadi sasaran empuk meriam benteng pasukan Palembang. Kekacauan itu akhirnya membuat armada tersebut kepayahan dan memutuskan untuk mundur. Jumlah korban tewas di pihak Belanda ada sekitar 101 orang, sedangkan di pihak Palembang tak diketahui.
Karena tidak ingin menderita kerugian yang lebih besar lagi, maka de Kock meminta gencatan senjata kepada Sultan Mahmud Badaruddin II. Dia berjanji tidak akan menyerang benteng-benteng Palembang pada hari Jumat. Sebagai gantinya Sultan Mahmud Badaruddin II sendiri harus berjanji untuk tidak menyerang pada hari Minggu. Hal ini dilakukan untuk menghormati hari suci agama masing-masing. Sang Sultan sendiri pun mengiyakan tanpa curiga karena dia juga ingin memberi kesempatan beristirahat bagi pasukannya yang sedang berpuasa dan saat itu sedang bulan Ramadhan.
Tapi perjanjian itu hanya bertahan beberapa hari, karena meskipun pada hari Jumat tidak terjadi kontak senjata, secara mendadak pasukan Belanda menggempur benteng-benteng di Pulau Kembaro dan Plaju pada saat subuh. Perang jarak dekat terjadi, senapan-senapan Belanda melawan tombak dan sangkur pasukan Palembang. Karena diserang mendadak, maka pertahanan di Pulau Kembaro dan Plaju jatuh.
Armada de Kock pun berlayar ke pusat kota Palembang dan bermaksud menghancurkan benteng Kuto Besak. Namun tembok setebal 2 meter dan barisan meriam yang kokoh membuat armada yang sudah porak-poranda itu semakin frustasi. Akhirnya de Kock mengeluarkan siasat licik lainnya. Dia menunjukkan Sultan Najamuddin IV, salah satu kerabat Sultan Mahmud Badaruddin II yang diangkat menjadi sultan secara sepihak oleh Belanda di salah satu kapal perangnya.
Dengan upaya untuk menghindari pertumbahan darah yang lebih banyak lagi, Sang Sultan kemudian memutuskan untuk menghentikan serangannya karena tidak ingin membunuh kerabatnya sendiri hanya demi kepuasan untuk mengalahkan de Kock. Akhirnya, benteng Kuto Besak jatuh dan Sultan Mahmud Badaruddin II beserta panglima-panglima perangnya ditangkap oleh Belanda.
Maka berakhirlah pertempuran ketiga dan keempat antara Kesultanan Palembang melawan Pemerintah Kolonial. Gelar sultan akhirnya diserahkan pada Najamuddin IV dari Pangeran Ratu pada 29 Juni 1821. Badaruddin II dan keluarganya pun akhirnya diasingkan oleh Belanda ke Ternate pada 3 Juli 1821. Sultan Mahmud Badaruddin ll lalu wafat di Ternate pada 26 September 1852.
Sebagian keluarga sultan yang tidak tertangkap mengasingkan diri ke marga sembilan sambil melanjutkan perlawanan atas Belanda walaupun tidak sehebat Sultan Mahmud Badaruddin ll. Kesultanan Palembang Darussalam vakum sejak itu, karena sultan selanjutnya pun, Sultan Suhunan Husin Dhiauddin Bin Sultan Muhammad Bahauddin dibuang Kolonial Belanda Ke Betawi, Serta selanjutnya lagi , Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom Bin Sultan Susuhunan Husin Dhiauddin ditangkap dan di Buang oleh Kolonial Belanda ke Banda, Kemudian dibuang lagi ke Manado, sampai sekarang Makam Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom belum ditemukan.
Karena banyaknya perlawanan para sultan selanjutnya kepada Belanda, maka kesultanan Palembang pada tanggal 7 Oktober 1823 dibekukan oleh Belanda.
*) Penulis adalah Pemerhati Sejarah dari Sutanadil Institute
Bogor, 4 Januari 2022
Sumber :
ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), 2. Dr. Farida. Perang Palembang dan Benteng Benteng Pertahanannya, 3. Laporan Politik Tahun 1837: Penerbitan Naskah Sumbar Sejarah ARNAS RI No.4, Jakarta, 1971, AN, 4. Bataviaasche Courant 1918 – 1921. 5. The Asiataic Journal and monthly register for British India, volume 10, September 1820. 5. Woelders,M.O., Het Sultanaat Palembang 1811-1825, Leiden: VKI Publ. No.72, 1975, 6. Rizky Ariyanto, PERANAN SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II DALAM PERANG PALEMBANG 1819-1821, https://journal.upy.ac.id/index.php/karmawibangga, 7. https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Palembang