PROFIL KOMPLEKS MAKAM REJE LINGE DI BUNTUL LINGE

PROFIL KOMPLEKS MAKAM REJE LINGE DI BUNTUL LINGE

PROFIL KOMPLEKS MAKAM REJE LINGE
Ambo Asse Ajis, S.S., M.Si
Peneliti Independen Arkeologi Kebencanaan

Pengantar 

Peneliti dari Balai Arkeologi Medan mencatat bahwa makam-makam kuno Islam yang terdapat di Kabupaten Aceh Tengah cukup beragam. Sebagian makam menggunakan nisan batu alam dan sebagian menggunakan nisan berhias. Makam-makam dengan nisan batu alam ditemukan pada beberapa kompleks makam diantaranya adalah makam lama dan dikeramatkan. Makam-makam itu antara lain makam Muyang Blang Beke, Muyang Kaya, Muyang Sengeda, makam Jeludin Raja Baluntara, dan makam keluarga Reje Linge. Dikatakan bahwa, di depan Mesjid Awaludin juga makam-makam yang cukup lama dengan menggunakan nisan dari batu alam. Selain mengunakan nisan batu alam di bagian atas makam juga diberi gundukan batu beragam ukuran. Dapat dikatakan bahwa tampilan makam-makam tersebut sederhana.  Tampilan makam-makam berbentuk sederhana menggambarkan keinginan masyarakat untuk berpegang kuat pada aturan dalam syariah Islam, sesuai cara-cara yang dianjurkan menurut sunnah Nabi Muhammad SAW.

Makam Raja Linge

Kompleks Makam Reje Linge berjarak 320 m dari keletakan lokasi bangunan bersejarah bernama Umah Pitu Ruang. Secara astronomis, Buntul Linge berada di koordinat 4°23’00.2″N 97°11’57.7″E dengan topografi bukit dengan karakter lahan bergelombang lemah. Untuk menuju ke lokasi ini, pengunjung akan melewati anak tangga semen dan jalan setapak dengan jarak yang tidak jauh.

Kompleks makam itu menempati areal seluas 16.000 m,  mengandung tinggalan arkeologi Islam yang ditandai dengan makam-makam berorientasi utara–selatandengan nisan berbahan batu pasir (sands stone), berada dalam cungkup dengan jumlah makam sekitar 20 (dua puluh) buah, diantaranya 11 (sebelas) makam menggunakan nisan-nisan batu kuno Aceh tipe bersayap dan balok, serta 9 (sembilan) menggunakan nisan-nisan dari batu alam. Nisan-nisan batu Aceh tersebut umumnya berhiaskan flora dan kalimat thoyibah (Laa Illaaha illallaah).

Nisan-nisan berhias yang terdapat di kabupaten ini ditemukan di kompleks makam Raja Linge. Melalui bentuknya dapat dikelompokkan  menjadi dua jenis, yaitu:

Pertama, jenis nisan bersayap dengan ciri-ciri: secara umum mulai dari bagian badan hingga puncak nisan berbentuk pipih dengan bagian badan terdapat bahu menyerupai sayap.  Bagian kaki berbentuk balok, di keempat sudut atas dan bagian tengah atas bagian kaki terdapat tonjolan berbentuk segi tiga (motif tumpal). Badan bagian bawah berbentuk pipih, dihiasi motif tumpal di keempat sudutnya, dan masingmasing sisi depan dan belakang dihiasi satu motif bawang/kubah yang ujungnya meruncing. Selanjutnya badan bagian atas hanya dihiasi sepasang motif hias geometris berupa persegi panjang vertikal pada masing-masing sisinya. Pada bagian ini terdapat pertulisan kalimat thoyibah. Di atas bagian badan terdapat bagian bahu yang berbentuk menyerupai sayap melengkung ke atas, di sisi depan dan belakang dihiasi motif lingkaran. Kemudian di bagian bawah kedua bahunya dihiasi dengan lengkungan-lengkungan berbentuk setengah lingkaran. Di atas bagian bahu terdapat bagian kepala dengan bagian bawah berbentuk menyerupai umbi bawang, di bagian atas berbentuk segi tiga dengan kedua ujung berbentuk menyerupai sayap melengkung ke bawah, dan dihiasi motif sulur-suluran. Di puncak nisan bagian bawah dihiasi dengan lengkungan-lengkungan berbentuk setengah lingkaran dan di atasnya berbentuk kuncup bunga.

Nisan tersebut mirip dengan nisan-nisan serupa dari Samudera, Aceh Utara, Kompleks makam Meurah I, II, III, Aceh Besar, dan disebut dengan nisan Batu Aceh di Kampung Makam, dan kompleks Makam Tauhid, Johor, Malaysia. Secara relatif nisan dengan ciri-ciri seperti yang terdapat pada nisan tersebut berkembang pada abad XVI–XVII M (Ambary,1996 dan Perret,1999). Namun sejak awal nisan bersayap telah ada pada abad XIII, diketahui dari nisan Sultan Malik As-Shaleh (wafat 1297 M) di Pasai, Aceh Utara (Ambary,1996:25).

Kedua, jenis nisan balok, bagian kaki berbentuk balok, di keempat sudut atas bagian kaki terdapat tonjolan berbentuk segi tiga (motif tumpal). Bagian badan terdapat tiga bagian, dua di bawah dengan hiasan motif geometris (belah ketupat), bagian atasnya berbentuk balok. Di keempat bagian permukaannya dihiasi dengan hiasan flora dan pertulisan kalimat thoyibah. Kemudian di keempat sudut atas bagian badan dihiasi dengan tonjolan berbentuk segi tiga (motif tumpal). Selanjutnya bagian kepala berbentuk halfround (belah rotan) dan di bagian puncak berbentuk segiempat bertingkat makin ke atas makin kecil ukurannya. Nisan tersebut mirip dengan nisan-nisan serupa dari Kompleks makam Meurah I, II, III, Aceh Besar, dan disebut dengan nisan Batu Aceh di kompleks Makam Tujuh dan Kompleks Makam Sultan Mahmud Mangkat, Johor, Malaysia. Secara relatif nisan dengan ciri-ciri seperti yang terdapat pada nisan tersebut berkembang antara akhir abad XVI–XVII M (Dahlia,2006 dan Perret,1999).

Menurut catatan Hurgronje (1903;150) bahwa di dalam kompleks perkuburan Buntul Linge, ada beberapa kuburan yang oleh penduduk setempat dianggap keramat, yaitu kuburan Sri Mahreje, Kejurun terdahulu, kuburan Setie Lelo, kerabat dari kejurun dan kuburan Kaya Lumut yang dulu berkunjung dan meninggal di Buntul Linge.

Arti Penting

Buntul Linge adalah lokasi yang secara historis memiliki kapasitas sebagai situs cagar budaya. Dilihat dari aspek historis, material budaya seperti nisan, tradisi lisan dan arti penting bagi kebudayaan, cukup memenuhi syarat sebagai objek yang layak ditetapkan sebagai cagar budaya Kabupaten Aceh Tengah. Tidak hanya itu, Buntul Linge juga mengandung unsur yang kuat dengan citra historis Kerajaan Linge sehingga sangat layak untuk diteliti lebih luas tidak hanya yang bersifat deskriptif seperti saat ini.

Mengapa ini perlu dipertimbakan karena sangat penting dan mendesak menjawab posisi historis Kerajaan Linge dalam sistem kronologi peradaban manusia. Apakah Kerajaan Linge berada di era Prasejarah, Awal Sejarah, Sejarah Kerajaan atau pada peradaban yang lebih muda lagi. Karena itu, dukungan penelitian sangat dibutuhkan untuk mengungkap arti penting ilmu pengetahuan Buntul Linge itu sendiri. Dukungan penelitian terhadap objek masa lalu orang Gayo ini (Buntul Linge dan Komplek Makam Raja-Raja Linge), tentu akan bisa memerdekakan pikiran sehingga akan memudahkan generasi sekarang menentukan seperti apa masa depan yang diinginkan.

Karena itu, sangatlah penting melindungi Buntul Linge dan Komplek Makam Raja-Raja Linge dari bencana yang potensial. Misalnya, bencana alam, bencana kesalahan penanganan, bencana kerusakan akibat tidak adanya perawatan dan berbagai bencana-bencana lainnya. Dengan menjaga dari berbagai ancaman bencana maka ada peluang bagi berbagai generasi mengeksplorasi nilai penting sejarah, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan agama.